K ewajiban kita untuk mempertahankan iman itu hal yang lumrah. Tapi untuk berkurangnya iman pada seseorang itu hal yang naïf. Kenapa? Agar kita tidak merugi dan menyesal kita selalu menambah iman pada setiap saat dan waktu. Bagaimana caranya iman itu bertambah. Ada pertanyaan yang mendasar yang perlu kita renungkan.
Dari mana kita berasal?
Siapa yang membawa kita ke dunia?
Untuk apa kita hadir di dunia?
Setelah ini mau kemana?
Beberapa pertanyaan di atas, menggambarkan bahwa menjadi sarana bertambah imannya pada seorang hamba. Kalau tidak direnungkan, akibatnya bisa menjadi hamba yang lalai dan meremehkan hidup.
Sebagian orang berkata: “sesungguhnya ada saat-saat yang melintas pada hati jika ahli surga berada dalam suasana seperti itu, maka sungguh mereka benar-benar berada dalam kehidupan yang menyenangkan.” Dia adalah masa-masa jernihnya iman dan bersihnya jiwa dari noda-noda maksiat dan kesalahan. Barang siapa memperhatikan masa-masa singkat ini maka dia akan mengetahui hakikat sebua keimanan. Sesungguhnya seorang hamba dengan amalnya akan sampai pada nilai kebahagiaan dan keluhuran, karena manisnya iman dan benarnya keyakinan yang dia rasakan. Dan sesungguhnya dia juga akan sampai pada tingkatan kesengsaraan dan kesukaran karena sedikitnya imandan lemahnya keyakinan, karenanya berbagai maksiat dan kesalahan.
Sungguh, Hanzhalah RA telah merasakan hakikat ini – yaitu hakikat berbolak baliknya iman, antara bertambah dan berkurangnya iman yang mengikuti berubahnya kondisi seorang hamba. Berkatalah Hanzhalah RA; “subhanallah apa yang kamu katakan?” Hanzhalah RA menjawab; “kita di sisi Rasulullah diingatkan dengan surga dan neraka, seakan-akan kita meliatnya dengan mata kepala. Dan setelah kita keluar dari hadapan Rasulullah, kita bergaul dengan istri dan anak-anak serta segala urusan kehidupan, kita banyak lupa.” Abu bakar RA berkata: “demi Allah kita juga mengalami hal yang serupa.” Kemudian Hanzhalah dan Abu Bakar RA berangkat hingga keduanya tiba di hadapan Rasulullah SAW. Maka Hanzhalah berkata: “hanzhalah munafik, wahai Rasulullah!” maka Beliau bertanya: “apa itu?” maka hanzhalah menjawab: “wahai Rasulullah, kita itu dihadapan anda, anda memperingatkan kami dengan surga dan neraka seolah-olah hal itu terlihat di hadapan mata, akan tetapi apabila kita keluar dari hadapan anda dan bergaul dengan istri, anak-anak dan segala urusan kehidupan, kita banyak lupa.” Maka Rasulullah bersabda: “Demi Allah, yang jiwaku ada di tangan-Nya! Seandainya kamu dapat melanggengkan kondisi (keimanan) yang kamu rasakan ketika kamu ada di hadapanku dan di dalam dzikir niscaya malaikat akan menjabat tanganmu di atas tempat tidurmu dan di perjalananmu. Akan tetapi, wahai hanzhalah sesaat dan sesaat.” Beliau mengulang 3 kali. (HR. Muslim)
Perhatikan gambaran Nabi SAW terhadap keimanan sebagian pelaku kemaksiatan ketika melakukan kemaksiatan, Nabi SAW bersabda: “Tidaklah berzina seorang pezina ketika berzina ia dalam keadaan beriman, dan tidaklah meminum khamr saat meminumnya sedang ia dalam keadaan beriman, dan tidaklah mencuri saat ia melakukan mencuri ketika dia dalam keadaan beriman, dan tidaklah merampas rampasan yang manusia menyaksikannya saat ia merampasnya ketika ia dalam keadaan beriman.” (Muttafaqun Alaih)
Sesungguhnya penafian keimanan mereka oleh Nabi SAW – sekalipun para ulama telah berkata bahwa yang dimksud disini adalah penafian kesempurnaan iman, dan bukabn penafian pokok iman – menggambarkan sebuah tingkatan kejatuhan iman saat maksiat dilakukan. Hingga tidak lagi efektif di dalam melarang pelakunya dari kemungkaran, dan mendorongnya untuk berbuat kebaikan, seakan-akan iman tidak ada wujudnya.
Semua itu menunjukkan kepada kita tentang hakikat iman, yaitu bahwasannya iman bukanlah sebuah perkara yang konstan (tetap, tidak berubah) yang tidak akan berkurang. Bahkan iman itu adalah perkara yang menerima tambahan jika seorang hamba datang dengan membawa sebab-sebab tambahnya iman, dan juga menerima pengurangan, bahkan iman akan hilang sama sekali jika seorang hamba datang dengan membawa pembatal-pembatalnya. Al- Qur’an telah menjelaskan hakikat ini – yaitu hakikat bertambah dan berkurangnya iman – dalam banyak ayat hingga menjelaskan bahwa iman adalah merupakan hadiah Rabbani, dan anugerah yang wajib di jaga dengan menjauhi apa-apa yang menguranginya dari berbagai perbuatan maksiat atau dari perbuatan dan ucapan kufur yang bisa menghilangkan-nya.
Diantara ayat tersebut adalah firman Allah SWT : “Dia-lah yang tela menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)”. (QS. Al- Fath : 4)
Dan firman Allah SWT : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Al -Anfal:2)
Adapun dalam hadist, maka sangat banyak, dintaranya sabda Nabi SAW. “Barang siapa diantara kamu melihat satu kemungkaran maka hendaklah merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak sanggup maka dengan lisannya dan jika tidak sanggup (juga) maka dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Dan sabda Nabi SAW juga : “orang-orang mukmin yang sempurna keimanannya adalah ia yang paling baik akhlak mereka.” (HR. Ahmad dan At Turmudzi dan dia menshahihkan-nya dan dishahihkan ole Al-Abani dalam Shahihul Jami’)
Al-Hulaimin berkata: “sabda ini menunjukkan bagusnya akhlak adalah iman , dan bahwa ketiadaannya adalah berkurangnya iman, dan bahwa orang-orang mukmin berebeda-beda keimanan mereka, maka sebagian merek lebih sempurna keimanannya dari sebagian yang lainnya.
Maka jelaslah dengan ini semua, bahwa bertambah dan berkurangnya iman tidaklah datang secara serampangan tanpa sebab secara tiba-tiba. Akan tetapi bertambah dan berkurangnya iman itu disebabkan oleh berbagai sebab. Ketaatan adalah sebab bertambah-nya iman, sedang maksiat adalah sebab berkuangnya iman. Dan ini adalah perkara yang dirasakan oleh jiwa seorang muslim. Seorang muslim ketika berada dalam shalatnya yang khusyu’ berbeda dengan keadaannya ketika melakkan perbuatan duniawi, apalagi ketika ia melakukan maksiat (AR)*
Posting Komentar